Selasa, 25 Mei 2010

Penggunaan Ikan Nilem (Osteochilus haselti CV) dan Ikan Tawes (Puntius javanicus CV) sebagai Agen Hayati Pembersih Perairan Danau Maninjau, Sumatera Barat

Jurnal Natur Indonesia 6(2): 87-90 (2004)
ISSN 1410-9379
Penggunaan Ikan Nilem (Osteochilus haselti CV) dan Ikan
Tawes (Puntius javanicus CV) sebagai Agen Hayati Pembersih
Perairan Danau Maninjau, Sumatera Barat
Hafrijal Syandri
Jurusan Budidaya Perairan, Faperi, Universitas Bung Hatta, Padang 25136
Diterima 26-08-2003 Disetujui 02-03-2004
ABSTRACT
This research was aim to know the use of the Osteochilus haselti CV and Puntius javanicus CV as the biological
agents of the cleaner of Maninjau Lake and knew the growth and survival second type this test fish during
culture without in gave additional material. From the result of the research in received three types the phytoplankton
that in ate by nilem fish that is Cyanophyceae, Chlorophyceae, Diatome and the kind that was eaten by tawes
fish consisted of two kinds that are Cyanophyceae and Chlorophyceae. The weight and longer absolute growth
the nilem fish as big as 20.38 g and 3.82 cm and for the tawes fish as big as 7.48 g and 5.21. From result of the
research in concluded that from second type the test fish could in used as the biloical agents of lake cleaner
Maninjau.
Keywords: biological agents, O. haselti CV, P. javanicus CV, cleaner.
PENDAHULUAN
Danau Maninjau merupakan perairan dengan
luas 9.950 ha. Sejak dikembangkan usaha budidaya
keramba jaring apung pada tahun 1992, Danau
Maninjau mendapat beban yang berasal dari sisa
pakan dan sisa metabolisme ikan. Dampak negatif
yang ditimbulkannya adalah terjadinya kematian
massal ikan pada tahun 1997 sebanyak 950 ton,
dengan kerugian sebesar Rp. 2,7 milyar.
Sejak tahun 1998 hingga 2001 warna air Danau
Maninjau mengalami perubahan dari jernih menjadi
hijau pekat. Perubahan ini dapat dijadikan sebagai
salah satu indikator terganggunya ekosistem danau
tersebut yang disebabkan oleh adanya aktivitas
budidaya perikanan keramba jaring apung (cage
culture) sebanyak 3.500 unit. Akibat aktivitas tersebut
dihasilkan limbah yang berasal dari pakan ikan
sebanyak 292,88 ton/tahun, nitrogen 146,68 ton/tahun
dan urea 310,0 ton/ tahun (Syandri et al, 2000).
Tingginya kandungan bahan-bahan organik di
perairan tersebut secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi kondisi perairan
seperti terjadinya bloomming phytoplankton yang
pada gilirannya berdampak negatif terhadap sektor
perikanan, pariwisata dan dapat merusak peralatan
mesin Pembangkit Listrik Tenaga Air (Syandri et al,
1998).
Untuk memperbaiki kualitas perairan Danau
Maninjau diperlukan suatu cara yang tepat, tidak
beresiko, mudah, dan murah, serta berdampak positif
terhadap masyarakat luas serta mendukung program
pemerintah dibidang perikanan. Penggunaan biocleaning
agent merupakan salah satu metode yang
dapat digunakan, seperti yang telah dicobakan di
Waduk Saguling dengan menggunakan ikan mola
(Hypophthalmichthyis milirix) sebagai ikan uji
(Danakusumah 1999).
Ikan nilem merupakan ikan asli perairan Danau
Maninjau, sedangkan ikan tawes tidak terdapat di
danau tersebut. Kedua jenis ikan ini adalah pemakan
plankton dan diduga dapat memanfaatkan plankton
yang sedang blooming di Danau Maninjau. Oleh
karena itu, telah dilakukan penelitian penggunaan ikan
nilem dan tawes sebagai agen hayati pembersih
Danau Maninjau. Tujuan penelitian ini adalah 1)
mengetahui kemampuan ikan nilem dan tawes
sebagai agen hayati pembersih perairan Danau
Maninjau dengan cara mengidentifikasi jenis plankton
yang terdapat di dalam saluran pencernaan kedua
jenis ikan uji dan jenis plankton yang dominan yang
terdapat di Danau Maninjau, 2) mengetahui pola
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nilem dan
tawes yang dipelihara di dalam keramba jaring apung
tanpa diberi pakan tambahan.
88 Jurnal Natur Indonesia 6(2): 87-90 (2004) Syandri.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Muko-Muko,
Danau Maninjau pada bulan Juni-Desember 2001.
Metode penelitian adalah metode eksperimen
menggunakan ikan nilem dan tawes sebagai ikan uji.
Ikan nilem dan tawes diperoleh dari Unit Pembenihan
Rakyat (UPR) Nagari Balai Tangah Kecamatan Lintau
Buo Kabupaten Tanah Datar.
Jumlah ikan nilem dan tawes yang dipelihara
masing-masing sebanyak 3.000 ekor. Ikan uji
dipelihara di dalam keramba jaring apung (KJA)
dengan ukuran 2x2x2 meter dengan padat tebar 1.000
ekor/unit keramba dengan jumlah sebanyak enam
unit. Ukuran mesh size keramba yang digunakan
sebesar 1/5 inchi dan keramba ditempatkan pada
kedalaman 15 meter. Bobot awal rata-rata untuk ikan
nilem 3,34 g/ekor dan panjang 8,93 cm, sedangkan
ikan tawes 0,27 g/ekor dan panjang 3,33 cm. Ikan
tersebut dipelihara selama enam bulan tanpa diberi
pakan tambahan. Diharapkan phytoplankton yang
terdapat di danau dapat dimanfaatkan oleh kedua
jenis ikan uji sebagai pakan.
Identifikasi jenis plankton dilakukan dua tahap
yaitu 1) identifikasi jenis plankton yang terdapat di
Danau Maninjau dilakukan sebanyak dua kali yaitu
pada awal dan akhir penelitian dengan menggunakan
alat plankton net, 2) mengetahui jenis plankton yang
terdapat pada saluran pencernaan ikan uji dilakukan
dengan cara pemeriksaan saluran pencernaan ikan
uji. Ikan diambil dari masing-masing keramba dengan
jumlah seluruhnya sebanyak 10 ekor. Saluran
pencernaan dipotong sepanjang 2 cm kemudian
direndam dengan formalin 4%. Untuk keperluan
pengukuran panjang dan berat mutlak ikan diukur dan
ditimbang sebelum dibunuh. Identifikasi plankton
dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Bung
Hatta Padang berpedoman kepada Needham &
Needham (1962).
Untuk mengetahui hubungan bobot tubuh
dengan panjang total ikan uji dilakukan pengambilan
sampel pada akhir penelitian sebanyak 60 ekor. Untuk
perhitungannya digunakan rumus yang dikemukakan
oleh Ricker (1975) yaitu W = aLb dimana W: bobot
ikan uji (gram), L: panjang total ikan (cm), sedangkan
a dan b: konstanta regresi hubungan panjang-bobot.
Untuk mengukur panjang dan berat mutlak ikan uji
digunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie
(1979), yaitu Lm: Lt - Lo, dimana Lm: pertumbuhan
panjang mutlak (cm), Lt: panjang pada akhir
penelitian, dan Lo: panjang pada awal penelitian.
Untuk menghitung pertumbuhan berat mutlak (Wm)
digunakan rumus Wm = Wt - Wo, dimana Wt: berat
ikan pada akhir penelitian dan Wo: berat ikan pada
awal penelitian. Seluruh data dianalisis secara
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis plankton yang terdapat di Danau
Maninjau dan yang dimanfaatkan oleh ikan nilem dan
tawes sebagai pakan dicantumkan pada Tabel 1.
Jenis Plankton di Dalam Saluran
Pencernaan
Jenis Plankton di
Danau Maninjau
Ikan Nilem Ikan Tawes
Phytoplankton
Cyanophyceae
Croococus sp
Oscilatoria
Merismopedia
Nostoc
Myrocystis
Spirulina
Chlorophyceae
Microsphora sp
Ankinedesmus
Diction reticulata\
Spyrogyra stictica
Cosmarium
Khirchenerial sp
Scenedesmus
Tetradesmus
Chlorella sp
Coelastrum
Oedogonium sp
Diatomae
Navicula sp
Synedra rumphen
Melosyra granulata
Surieela ovalis
Gomphonema sp
Navicula radiosa
Achnanthes lineris
Zooplankton
Larva Crustacea
Nauplius
copepoda
Cylop diaptomus
Cyclop
Rotifera
Notolca
Asplanchana
Karatella
Phytoplankton
Cyanophyceae
Mycrocystis
Nostoc
Spirulina
Oscilatoria
Chlorophyceae
Ankinedesmus
Scenedesmus
Diction retiulatum
Tetradesmus
Chlorella sp
Coelastrum
Scenedesmus
Diatomae
Diatoma vulgare
Phytoplankton
Cyanophyceae
Myrocystis
Spirulina
Oscilatoria
Chlorophyceae
Ankinedesmus
Scenedesmus
Tetradesmus
Clhorella sp
Coelastrum
Scenedesmus
Tabel 1. Jenis plankton yang dominan di Danau Maninjau dan di
dalam saluran pencernaan ikan Nilem dan Tawes.
Ikan nilam dan tawes sebagai agen hayati pembersih Danau Maninjau 89
Dari Tabel 1 dapat dilihat phytoplankton yang
dominan di perairan Danau Maninjau berjumlah tiga
genus yaitu Cyanophyceae, Chlorophyceae, dan
Diatomae. Sedangkan Zooplankton ada dua genus
yaitu Rotifera dan Crustacea. Hasil identifikasi jenis
plankton yang dilakukan di Danau Maninjau pada
awal dan akhir penelitian diperoleh jenis yang sama.
Dari 24 jenis phytoplankton yang ada, 11 jenis
(45,83%) dimakan oleh ikan tawes dan 8 jenis
(33,33%) dimakan oleh ikan nilem. Kilham & Kilham
(1978) menyatakan bahwa dominasi suatu jenis
phytoplankton pada suatu badan air lebih ditentukan
oleh perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam
badan air. Hal ini disebabkan setiap jenis
phytoplankton mempunyai respon yang berbeda
terhadap perbandingan jenis nutrien yang ada
terutama perbandingan konsentrasi nitrogen, fosfor,
dan silika dalam badan air.
Budidaya ikan di dalam KJA di Danau Maninjau
diperkirakan menghasilkan limbah yang berasal dari
pakan ikan sebesar 292,88 ton/tahun (Syandri et al,
2000). Sebagian besar pakan yang diberikan akan
menjadi limbah organik yang jatuh sebagai sedimen
atau tertahan di badan air menjadi sedimen ataupun
larutan. Garno (1993) menyatakan bahwa dalam
bentuk apapun limbah KJA ini pasti akan diurai oleh
bakteri yang ada dalam badan air, di lapisan atas
diurai oleh bakteri aerob, sedangkan pada lapisan
dasar yang tidak mengandung oksigen diurai oleh
bakteri anaerob. Dengan proses dekomposisi yang
selalu mengandung nutrien (N dan P) dapat memicu
petumbuhan phytoplankton yang ada, dan jika suplai
nutrien terjadi secara kontinyu dapat mengakibatkan
terjadi blooming Mycrosystis seperti yang telah terjadi
di Danau Maninjau pada tahun 1999-2000 (Syandri
et al, 2000).
Dari tiga jenis phytoplankton yang terdapat di
Danau Maninjau genus Cyanophycea merupakan
jenis yang dapat menghasilkan toksin pada ikan. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Nabib & Pasaribu (1989) bahwa organisme tersebut
dapat memberikan dua akibat langsung pada populasi
ikan di antaranya keracunan oleh ekskresi dari
Ichthyotoksin dan kesulitan bernafas disebabkan oleh
pengurangan oksigen secara cepat karena respirasi
organisme tersebut atau juga dapat disebabkan oleh
kematian mendadak suatu kelompok organisme
tersebut. Selama dan sesudah proses blooming
dihasilkan racun yang sangat mematikan bagi ikan
dan hal ini telah terjadi di Danau Maninjau. Dengan
kondisi air Danau Maninjau yang berwarna hijau pekat
plankton tumbuh sangat subur dimana menurut Nabib
& Pasaribu (1989) pada kondisi ini jumlah selnya
dapat berkisar antara 20-100 x 103 sel/ml. Kemudian
Kabata (1985) menyatakan bahwa apabila terjadi
blooming Mycrocystis auroginosa sebanyak 500.000
koloni/liter air sudah dapat mematikan populasi ikan
di perairan. Kemudian dijelaskan jenis Oscillatoria
dapat juga menurunkan mutu ikan bila terdapat di
perairan dalam pengenceran 1:5000 yang
menyebabkan bau lumpur pada ikan.
Dari analisis saluran pencernaan yang
dilakukan pada kedua jenis ikan uji ditemukan empat
jenis genus Cyanophyceae, terdiri dari Ocillatoria,
Mycrocystis, Spirullina, dan Nostoc. Dominasi
Cyanophyceae memperkuat dugaan bahwa air Danau
Maninjau sudah tergolong eutropik, dimana
Cyanopheae dapat hidup dengan subur karena
mampu beradaptasi dengan fluktuasi oksigen terlarut
yang tinggi (Moss 1988), dan cocok dengan pH 7
(Bold & Wynne 1978). Zooplankton tidak ditemukan
pada saluran pencernaan kedua ikan uji, karena ikan
ini bersifat herbivora. Dari hasil penelitian dapat
dinyatakan bahwa ikan nilem dan tawes dapat
memanfaatkan berbagai jenis phytoplankton yang
dominan di perairan Danau Maninjau terutama genus
Cyanophyceae dan Chlorophyceae. Dengan
demikian ikan nilem dan tawes dapat ditebarkan ke
dalam Danau Maninjau sebagai alternatif untuk
mengatasi blooming phytoplankton.
Hubungan bobot tubuh dengan panjang total
ikan nilem dan tawes. Dari hasil penelitian yang
dilakukan diperoleh kisaran panjang dan berat ikan
nilem antara 10,8-16,0 cm dan berat 13,0-48,5 g
sedangkan untuk ikan tawes antara 7,0-12,9 cm dan
berat antara 3,0-24,0 g. Dari analisis data diperoleh
hubungan bobot tubuh dengan panjang ikan uji
memperlihatkan suatu persamaan geometrik dimana
untuk ikan nilem W = 2,344 x 10-6 L3,3223, dan untuk
ikan tawes W = 2,470 x 10–6 L3,3312. Dari nilai koefisien
korelasi ikan nilem diperoleh hubungan yang erat
antara bobot tubuh dengan panjang total (r = 0,94, n
= 60), dan ikan tawes (r = 0,91, n = 60). Dari nilai
persamaan koefisien regresi (b) diperoleh hubungan
90 Jurnal Natur Indonesia 6(2): 87-90 (2004) Syandri.
bobot tubuh dengan panjang total ikan uji lebih besar
dari 3,0 (b > 3,0), masing-masing 3,3223 untuk ikan
nilem dan 3,3312 untuk ikan tawes. Berdasar kedua
nilai tesebut, maka dapat dinyatakan bahwa
pertumbuhan kedua ikan uji yang dipelihara dalam
KJA tanpa diberi pakan tambahan bersifat alometrik
positif yaitu pertumbuhan bobot tubuh lebih cepat bila
dibandingkan dengan pertumbuhan panjang.
Pertumbuhan panjang tubuh dipengaruhi oleh faktor
genetis. Diperolehnnya pertumbuhan yang baik pada
kedua ikan uji walaupun tidak diberi pakan tambahan
disebabkan ikan uji dapat memanfaatkan
phytoplanton yang terdapat di Danau Maninjau
sebagai sumber pakannya. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Susanto (1996) bahwa ikan
tawes muda dan dewasa memakan tumbuhan air
seperti Chlorophyceae, Characeae, dan
Ceratophyllaceae.
Pertumbuhan Panjang dan Berat Multak Ikan
Uji. Dari hasil penelitian diperoleh pertumbuhan
panjang mutlak ikan nilem sebesar 3,82 cm dan berat
20,38 g, sedangkan untuk ikan tawes diperoleh
panjang mutlak sebesar 5,21 cm dan berat 7,48 g.
Kelangsungan hidup ikan uji yang dipelihara selama
penelitian lebih kurang 90%. Mortalitas terjadi saat
awal pemeliharaan dan diduga hal ini terjadi akibat
penanganan selama transportasi.
pertumbuhan berat tubuh lebih cepat dari pada
pertumbuhan panjang badan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada PT PLN
(Persero) Sektor Bukit Tinggi yang telah membantu
pendanaan penelitian ini.
KESIMPULAN
Ikan nilem dan tawes yang dipelihara di dalam
KJA di Danau Maninjau dapat memanfaatkan
phytoplankton sebagai pakannya. Kedua jenis ikan
uji dapat tumbuh dengan baik tanpa diberi pakan
tambahan. Pertumbuhan ikan nilem dan tawes yang
dipelihara di dalam KJA bersifat allometrik positif yaitu
DAFTAR PUSTAKA
Bold, H.C. & Wyne, M.J. 1978. Introduction to the Algae: Structure
and Reproduction. New Jersey: Prentice-Hall.
Danakusumah, E. 1999. Kemungkinan penggunaan ikan mola
(Hypophthalmichthyis milirix) sebagai agen pembersih
perairan waduk. Jakarta: Ditjen Pengairan dan Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan
Dewi Sri.
Garno, Y.S. 1993. Eblibility of several phytoplankton species by
simocephalus vetulus. Proceeding Seminari on Technology
Application on Marine Environmental Monitoring for Casting
and Information System. Jakarta.
Kabata, Z. 1985. Parasite and Diseases of Fish Culture in the
Tropic. London: Taylor & Francis.
Kilham, S.S. & Kilham, P. 1978. Natural community bioasaays:
prediction of result based on nutrient physiology and
competition. Int. Ver Theor Anew. Limnol. Ver. 20: 68-74.
Moss, B. 1988. Ecology of Freshwater Man and Medium. Oxford:
Blackwell Scientist Publication.
Nabib, R. & Pasaribu, F.H. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan.
Bogor: PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Needham, G.J. & Nedham, P.R. 1962. A Guide to the Study of
Freshwater Biology. San Fransisco: Holden Day Inc.
Ricker, W.E. 1975. Computation and interpretation of biological
statistics of fish populations. Bull. Fish Res. Board Cand.
119: 191-383.
Susanto, H. 1996. Budidaya Ikan di Pekarangan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Syandri, H., Kusuma, H., Murniwira & Jufri. 1998. Pemanfaatan
perairan Danau Maninjau dalam rangka penyusunan
perikanan jala apung. Laporan Kerjasama Penelitian.
Padang: BPTP Sukarami dengan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Bung Hatta.
Syandri, H., Kusuma, H. & Ernijuita. 2000. Pengaruh perikanan
keramba jaring apung dan PLTA terhadap perairan Danau
Maninjau. Laporan Kerja Sama Penelitian. Padang: PT PLN
(Persero) Sektor Bukit Tinggi dengan Elsals Padang.

Bayam Melunakkan Cangkang Kepiting ( pe-molting-an)

KEPITING lunak atau soft shell crab adalah salah satu makanan laut (seafood) di dunia yang terkenal karena kelezatannya. Produk ini belum dikenal luas oleh masyarakat Indonesia meskipun banyak diproduksi di Indonesia. Hal ini terjadi karena kepiting lunak adalah produk ekspor yang mana permintaan luar negeri jauh lebih tinggi dibanding produksi. Komoditas ini diekspor ke Amerika, Tiongkok,Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan sejumlah negara di kawasan Eropa.Produksi kepiting lunak dilakukan dengan memelihara kepiting secara individu dalam kotak (keranjang buah) yang ditempatkan di dalam tambak hingga molting. Molting adalah proses pergantian kulit secara alami, yakni melepaskan kulit lama yang keras untuk tujuan pertumbuhan. Sesaat setelah molting, kulit kepiting yang baru masih dalam kondisi sangat lunak dan akan mengeras kembali beberapa jam kemudian ketika terjadi penyerapan air. Kepiting dengan kondisi lunak inilah yang dipanen sebagai kepiting lunak. Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi kepiting lunak berkisar antara satu minggu hingga empat bulan, tergantung ukuran kepiting. Selama pemeliharaan tersebut petani akan memonitor kepitingnya setiap 2-3 jam sekali selama 24 jam. Bila kepiting molting dan tidak diangkat dari air maka dua jam kemudian kepiting sudah akan mengeras kembali. Akibatnya, nilai jual kepiting tersebutmenurun. Periode pemeliharaan yang lama dan waktu molting yang tidak bersamaan merupakan masalah utama dalam produksi kepiting lunak. Molting dapat terjadi pada pagi, siang, sore, atau malam hari. Periode pemeliharaan yang lama menyebabkan biaya pakan dan biaya operasional lainnya menjadi besar. Sedangkan molting yangtidak bersamaan menyebabkan pengawasan harus dilakukan sangat ketat sehingga tenagakerja yang dibutuhkan cukup banyak dengan waktu kerjayang panjang.Untuk mengatasi masalahtersebut, beberapa petani melakukanmutilasi atau menanggalkankaki-kaki kepiting. Tujuannyaagar proses regenerasi anggota gerak yang hilang akan dipercepat secara alami melalui molting.Teknik ini mampu mempercepat kepiting molting. Namun, masalah lain muncul, yakni kematian meningkat dan pertambahan berat setelah molting tidak terjadi, bahkan seringkali minus. Bila kepiting molting tanpa perlakuan mutilasi atau secara alami maka terjadi pertambahan berat sebesar kurang lebih 30 persen. Berdasarkan kendala tersebut maka dilakukanlah serangkaianpenelitian meliputi penelusuran pustaka dan percobaanpercobaan. Hasilnya diketahui bahwa Secara fisiologis, proses pergantian kulit dikontrol oleh hormon molting. Begitu temuan Dosen Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Prof Dr Ir YUSHINTA
FUJAYA, MSI dalam penelitiannya baru-baru ini. Dalam penelitian bersama sejumlah rekannya sesama dosen dan beberapa mahasiswa, diketahui bahwa hormon molting ini meningkat drastis menjelang molting. Dengan demikian diduga bahwa penambahan hormon molting eksogen dapat meningkatkan kadar hormon molting dalam darah sehingga molting akan terinduksi. Selain itu,ditemukan bahwa beberapa jenis tanaman mengandung hormon molting yang secara alami digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan hama insekta dan nematoda.
Tanaman bayam dipilih untukdijadikan sumber hormon molting eksogen untuk mempercepat molting pada kepiting budidaya dengan beberapa pertimbanganantara lain: di Indonesia banyak jenis bayam digunakan sebagai sayuran. Karena digunakan sebagai sayuran maka tanaman ini mudah diperoleh dan kesinambungan suplainya terjamin sehingga berpotensi menjadi produk industri. Lebih dari itu, karena bayam adalah sayuran yang menyehatkan maka metabolit yang dikandungnya aman bagi manusia sebagai konsumen.Selanjutnya, dari hasil penelitian yang seksama ditemukan bahwa aplikasi ekstrak bayam dengan dosis dan jadwal pemberian yang tepat mempunyai khasiat untuk menginduksi molting pada kepiting peliharaan. Aplikasi dapat diberikan melalui injeksi dan melalui pakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.Dengan injeksi maka seluruh bahan aktif ekstrak bayam akanlangsung masuk ke dalam darah dan segera mempengaruhi aktivitas molting. Namun memerlukan keterampilan dan peralatan khusus untuk aplikasinya. Sedangkan aplikasi melalui pakan mudah dilakukan karena sama saja dengan pemberianpakan pada umumnya, namun konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan dua kali lebih banyak untuk mengantisipasi pakan yang tidak termakan dan yang mungkin larut dalam air karena pakan tidak segera dimakan. Komposisi nutrisi pakan buatan yanglengkap dan seimbang juga menentukan kinerja ekstrak bayamdalam menstimulasi molting. Ekstrak bayam ini telah diujicobakan pada industri budidaya kepiting cangkang lunak komersil di Kalimantan Selatan.
(Prof Dr Ir YUSHINTA FUJAYA, MSI)

Motilitas Sperma

Laporan Praktikum ke-11 Hari/Tanggal : Rabu / 19 Mei 2010
m.k. Fisiologi Hewan Air Kelompok : VII




KERAGAAN SPERMATOZOA


Disusun Oleh :
Ahmad Fauzi
















DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam proses pembuahan ( fertilisasi ) sel telur ( ovum ) oleh sperma, kualitas sperma sangat menentukan keberhasilan proses pembuahan tersebut. Daya tahan hidup sperma di media air dan daya gerak ( mortilitas ) perlu diketahui dalam upaya meningkatkan derajat pembuahan pada kegiatan pengembangbiakan ikan (breeding). Pada kenyataanya sering terjadi tenggang waktu antara ketersediaan sperma dengan keberadaan sel telur ( kematangan gonad antara ikan jantan dan ikan betina yang tidak sinkron) atau ada perbedaan jarak antara keberadaan sperma dengan keberadaan telur sehingga untuk mengatasinya sperma perlu diawetkan.
1.2. Tujuan
Pratikum ini bertujuan untuk mengetahui motilitas ( daya gerak) daya hidup, dan mortilitas ( tingkat kematian) sperma ikan setelah mengalami beberapa perlakuan berbeda.










II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Mas Cyprinus carpio
Klasifikasi ikan mas Saanin (1984) dalam Sulistio (2001) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Cyprinoidea
Famili : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus carpio L

Gambar 1. Ikan mas (Cyprinus carpio)
Sumber: ( Anonim 2010 )

Ikan Mas mempunyai ciri-ciri badan memanjang dan agak pipih, lipatan mulut dengan bibir yang halus, dua pasang kumis (barbels) yang kadang-kadang satu pasang diantaranya rudimenter, ukuran dan warna badan sangat beragam (Sumantadinata, 1983 dalam Wibawa, 2003





2.2 Sperma

Gambar 1. Morfologi Spermatozoa)
Sumber: ( Anonim 2010 )


Sifat sifat bawaan didalam inti sperma termasuk kedalam embrio. Sebagai hasil pembelahan reduksi selama spermatogenesis. Sperma hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik sehingga terbentuklah dua macam spermatozoa; sperma yang membrane chromosom-x akan menghasilkan embrio betina sedangkan sperma yang mengandung chromosom-y akan menghasilkan embrio jantan menurut (Affandi dan Muhamad tang 2002) . Sperma tetap motil untuk waktu lama didalam media yang isotonic dengan darah Menurut Gardier dalam Nurman (1995) dalam Affandi dan muhamad tang (2002) melaporkan bahwa semen yang encer bangayk mengandung glukosa, sehingga memberikan motilitas yang baik terhadap spermatozoa. Menurut Affandi dan muhamad tang (2002) sperma tidak bergerak dalam air mani . ketika masuk ke air akan aktif berenang. Pergerakan sperma normal adalah seperti linear, biasanya pola pergerakanya berbentuk spiral. Daya tahan hidup spermatozoa dipengaruhi oleh PH, tekanan osmotik, elktrolit, non elektrolit, suhu dan cahaya. Pada umumnya sperma sangat aktif dan tahan hidup lama pada ph sekitar 7,0. Motilitas partial dapat dipertahankan pada ph antara 5 dan 10. Suhu mempengaruhi daya tahan hidup sperma , peningkatan suhu akan meningkatkan kadar metabolism sehingga dapat menurangi daya tahan hidup sperma. Demikan juga cahaya matahari yang langsung mengenai spermatozoa akan memperpendek umur sperma. Menurut Affandi dan muhamad tang (2002) dalam Muncritik dan moccia (1987) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara volume semen dengan motilitas spermatozoa , yaitu semakin encer semen ikan maka motilitas spermatozoa semakin tinggi karena spermatozoa memperoleh makanan yang cukupdari plasma semen. Menurut Aas et. (1991) dalam Affandi dan Muhamad tang (2002) dalam bahwa semakin encer semen ikan maka kadar sodium yang terdapat dalam semen semakin tinggi, sehingga motilitas dan fertilitas spermatozoa semakin tinggi.
2.3 Larutan fisiologis dan akuades
Larutan fisiologis adalah larutan isotonik yang terbuat dari NaCl 0,9% yang sama dengan cairan tubuh atau darah (adhil, 2009) menurut Rustidja(1985) dalam hidayaturahmah (2007) penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea karna dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa antara 20-25 menit. larutan fisiologis lebih kecil dari NaCl 0,9 % (0,8 %; 0,6 %; 0,3 %; 0,1 %) disebut hipotonis. larutanfisiologis lbh besar dari NaCl 0,9 % ( 1 %; 2 %) disebut hipertonis. Darah bila dimasukkan ke dalam larutan hipotonis maka membran akan mengembang karena larutan hipotonis masuk ke dalam sel darah merah, kemudian pecah di satu tempat sehingga Hb keluar disebut dengan hemolisis. Darah bila dimasukkan ke dalam larutan hipertonis maka membran akan di tarik kesegala arah sehinga pecah di banyak tempat sehingga sel darah merah mengkerut akibatnya Hb juga keluar dan disebut krenasis Anonim (2010)



2.4 Larutan Air Kelapa
Sebagai sumber tenaga, air kelapa mengandung glukosa. Sebagai sumber zat pembangun, pada air kelapa terdapat protein. Paling tidak, air kelapa mengandung 12 macam protein. Beberapa diantaranya adalah alanin, arginin, asam aspartat, asam glutamat, histidin, fenilalanin, tirosin.
Selain itu, air kelapa juga kaya dengan mineral seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium, besi, dan tembaga. Tidak ketinggalan vitamin. Ada vitamin C dan 7 macam vitamin B yaitu nikotinik, asam pantotenat, biotin, riboflavin (B2), asam folat, tiamin (B1), dan piridoksin (B6).
Air kelapa mempunyai sifat seimbang (isotonis) dan kaya dengan elektrolit. Karenanya, sangat baik diminum ketika tubuh kekurangan elektrolit, misal setelah aktifitas atau olah raga berat Anonim (2010)



















III. METEDOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum Respirasi dilaksanakan pada tanggal 19 mei 2010 pada pukul 8.00 – 10.00 pagi di laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan IPB.

3.2. Alat dan Bahan
Alat - alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah ikan mas jantan matang gonad. Akuades, larutan fisiologis, air kelapa muda, es batu, tube,pipet, gelas objek, mikroskop, kertas label, lap dan tissue.

3.3. Prosedur Kerja
Pertama memilih ikan jantan yang matang gonad, kemudian mengambil ikan dari media air dan mengeringkan tubuh iakn sampai bersih. Lalu melakukan pengurutan pada perut dari arah anterior ke posterior sampai sperma keluar dari lubang kloaka. Berikutnya mengumpulkan dan membagi sperma serta menampung kedalam 5 tube, masing masing sebanyak 0,5 ml. Mengambil sampel sperma pada tube pertama untuk pengamatan awal . Untuk mengaktifkan sperma , beri satu tetes akuades pada sperma yang diamati dibawah mikroskop. Pada perlakuan yang diberikan pada sperma adalah pengenceran denga akuades , laruttan fisiologis, air kelapa muda, dan tanpa pengenceran serta penyimpanan pada suhu kamar dan suhu 4o C . Selalu memastikan bahwa tube berada pada kondisi tertutup rapat selama waktu penyimpanan. Setelah satu jam penyimpanan selalu melakukan pengamatan motilitas, daya hidup, dan mortalitas, masing-masing kelompok sperma dibawah mikroskop. Untuk mengatifkan sperma, memberikan setetes akudes pada sperma yang diamati dibawah mikroskop. Kemudian membandingkan data tersebut pada antar perlakuan.





VI. HASIL DAN PEMBAHASAN¬¬¬¬
4.1. Hasil
No perlakuan Motilitas daya hidup mortalitas
suhu kamar suhu 4 C suhu kamar suhu 4 C suhu kamar suhu 4 C
1 pengenceran dengan larutan isotonic 5 0 4” 0 100% 100%
2 pengenceran dengan larutan isotonic 5 0 53” 0 5% 100%
3 tanpa pengenceran 5 5 3,24” 1 0% 0%
4 tanpa pengenceran 1 1 14,8” 8,1 70% 60%
5 pengenceran dengan aQuades 1 0,5 9,38” 1,29 50% 10%
6 pengenceran akuades 0,25 0,25 9” 12 30% 50%
7 pengenceran dengan larutan fisiologis 0,75 1 10” 7,14 90% 98%
8 pengenceran dengan larutan fisilogis 0 0,75 5” 10 998% 70%
9 pengenceran dengan air kelapa muda 0 0 0” 0 100% 100%
10 pengenceran dengan larutan isotonic 1 0,5 3,14” 30 80% 98%
Tabel 1. Hasil pengamatan sperma ( motilitas, daya hidup, mortalitas) pada lima perlakuan berbeda pada suhu kamar dan suhu 40C.
Intrepretasi : Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa motilitas tertinggi terdapat pada perlakuan ke 1,2,3 pada suhu kamar dan perlakuan ke 3 pada suhu 40C sedangkan motilitas terendah terletak pada perlakuan ke 8,dan 9 pada suhu kamar dan perlakuan ke 9 pada suhu 4oC.
4.2 pembahasan
Pengenceran berpengaruh terhadap sperma. Pada pengencer akuades motilitas menunjukan angka ke 1 yaitu banyak sperma bergetar teteapi sangat sedikit yang bergerak cepat. Dikarenakan pada larutan akuades tergolong larutan hipotonik sedangkan sperma lebih mudah dipengaruhi pada kadaan hipertonik. Sperma pada larutan fisiologis bergerak lebih baik menurut Rustidja(1985) dalam Hidayaturahmah (2007) penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea karena dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa antara 20-25 menit. Namun pada kenyatanya ada juga data yang menunjukan motilitas yang rendah hal ini dapat disebabkan oleh banyak factor diantaranya seperti preperat yang kurang bersih sehingga sperma telah bergerak lama namun tidak terdeteksi, bias juga dikarenakan sperma ikan berada pada kondisi yang kurang baik seperti telah terkontaminasi bakteri. Pada air kelapa muda termasuk kedalam larutan non elektrolit yang dapat digunakan dalam pengenceran sperma. Menurut Effendi dan Muhamad Tang (2002) larutan elektrolit dalam bentuk gula seperti fruktosa atau glukosa dapat digunakan sebagai pengencer sperma. Namun berdasrkan pengamatan hal ini tidak sesuai karena banyaknya sperma yang mati dal tidak ada motilitas hal ini bias disebabkan lemahnya sperma ikan yang bisa dikarenakan ikan berada pada kondisi sakit. Pada perlakuan pengenceran dengan larutan isotonik sperma kondisi sperma berada pada kondisi yang paling baik. Menurut adhil (2009) larutan fisiologis adalah larutan isotonik yang terbuat dari NaCl 0,9% yang sama dengan cairan tubuh atau darah sedangkan Menurut Affandi dan Muhamad Tang (2002) dalam Gardier dalam Nurman (1995) Sperma tetap motil untuk waktu lama didalam media yang isotonic dengan darah Rustidja(1985) dalam Hidayaturahmah (2007) penggunaan larutan fisiologis yang mengandung NaCl dan urea karna dapat mempertahankan daya hidup spermatozoa antara 20-25 menit. Motilitas merupakan daya gerak sperma yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan dengan pemberian larutan yang beraneka macam. Menurut Effendi dan Muhamad Tang (2002) seperma tidak dapat bergerak dalam air mani. Ketika masuk ke air spermatozoa akan aktif berenang. Daya hidup sperma menurut Effendi dan Muhamad Tang (2002) dipengaruhi oleh pH tekanan osmotik, elktrolit, non elektrolit, suhu dan cahaya. Pada umumnya sperma sangat aktif dan tahan hidup lama pada ph sekitar 7,0. Motilitas partial dapat dipertahankan pada ph antara 5 dan 10. Suhu mempengaruhi daya tahan hidup sperma , peningkatan suhu akan meningkatkan kadar metabolisme sehingga dapat menurangi daya tahan hidup sperma. Pada suhu 4oC sperma dapat bertahan hidup lebih lama karena metabolisme sperma relatif rendah sedangakn pada suhu tinggi laju metabolismenya juga tinggi sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh sperma. menurut Effendi dan Muhamad Tang (2002) suhu mempengaruhi daya tahan hidup sperma, peningkatan suhu akan meningkatkan kadar metabolisme yang dapat mengurangi daya tahan hidup sperma. jika disimpan pada suhu 0-5oC umur sperma dapat diperpanjang menurut Effendi dan muhamad tang (2002). Factor yang mempengaruhi daya tahan tubuh sperma diantaranya adalah suhu, pada suhu yang tinggi metabolisme sperma juga akan tinggi sehingga berpengaruh terhadap daya tahan hidup sperma. Pada pH yang dipertahankan berkisar antara 5-10 sperma memilki daya tahan hidup lebih tinggi dan selain pada kisaran itu sperma akan mati atau tidak berkembang. Pada cahaya yang terlalu tinggi dapat mengurangi daya tahan hidup sperma menurut Effendi dan Muhamad Tang (2002) bahwa cahaya matahari yang langsung mengenai spermatozoa akan memperpendek umur spermatozoa, tidak hanya itu pada jenis spesies juga akan berpengaruh terhadap kualitas sperma. Ikan yang fertilisasi external mempunyai sperma dengan daya tahan hidup lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan yang melakukan pembuahan di dalam seperti ikan cupang dan mas. Ukuran juga menentukan kereaktifan sperma dalam pergerakanya seperti ikan koki yang mempunyai ukuran ekor sperma lebih panjang mempermudah pergerakan kearah distal sehingga mempercepat dalam bergerak ke mikrofil untuk melakukan fertilisasi berdasarkan pada Effendi dan uhamad tang (2002) dalam Toelihere 1985. Lingkungan juga berpengaruh terhadap daya tahan hidup sperma seperti cahaya, pH dan suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan kematian pada sperma.











V.KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Pada keadaan suhu lingkungan yang tinggi dapat mengurangi daya tahan hidup sperma. Pada umumnya sperma sangat aktif dan tahan hidup lama pada ph sekitar 7,0. Ketika masuk ke air spermatozoa akan aktif berenang. Sperma tetap motil untuk waktu lama didalam media yang isotonic dengan darah.

5.2. Saran
Pada praktikum berikutnya ikan yang disediakan lebih beragam sehingga dapat digunakan sebagai perbandingan pada data yang diolah. Semoga kedepanya praktikum fisiologi hewan air akan lebih baik lagi.













DAFTAR PUSTAKA

Tang. U.M. dan R Affandi. 2001. Fisiologi hewan air. Unri.
[Anonim 2010] www.google imeg.com
[ Hidayaturohman 2007] WWW. Scribd .com





















LAMPIRAN

menurut saudara apa yang perlu ditambahkan?